Bagi Alumni ITS yang ingin berbagi tulisan-tulisan untuk dimuat di Blog ini, kami persilahkan menghubungi Email: purwoko.e28@gmail.com dan CC kan ke: dewa.yuniardi@gmail.com

Apakah UN (Ujian Nasional) Harus Tetap Diadakan ?

Dari tahun ke tahun UN (Ujian Nasional) selalu menuai banyak kontroversi. Banyak pihak-pihak yang merasa bahwa ujian nasional tidak perlu dilaksanakan dengan berbagai alasan. Masalah Ujian Nasional (UN) tiap tahun selalu ramai dibicarakan, mulai dari persiapan siswa dengan berbagai bimbingan belajar, orang tua dengan menyiapkan materi untuk mendukung para putranya, pihak sekolah dengan berbagai penganyaan dan uji coba UN, pemerintah dengan memberikan materi pokok UN, masyarakat dengan katentuan / syarat pelulusan yang sangat memberatkan.

Masyarakat luas mengharapkan UN tidak dilaksanakan karena merugikan (jika ada siswa yang tidak lulus, termasuk merugikan pihak sekolah karena banyak yang tidak lulus). Kita sudah tidak asing dengan Ujian Nasional karena istilah itu sudah kita rasakan sejak tahun 1990-an.

Melihat fakta yang ada saat ini, Negara Indonesia saat ini masih tertinggal jauh dengan Negara-negara lain. Dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, maka perlu diadakan standar nasional dan tiap-tiap daerah harus mengikuti standar nasional tersebut agar perkembangan Negara Indonesia lebih baik dan maju. Maka tidak mungkin UN diberhentikan, karena dengan UN pemerintah dapat mengukur tingkat pendidikan disuatu wilayah seluruh Indonesia.

Undang-undang tentang Ujian Nasional telah berlaku, sehingga kalau memang ingin meniadakan UN, maka kita harus mencabut Undang-undang tersebut terlebih dahulu. Tidak bisa kalau UN sudah tidak ada sedangkan Undang-undang masih berlaku.

Selain itu peniadaan Ujian Nasional dalam sistem pendidikan dalam negeri bisa mengarah kepada pelemahan sumber daya manusia Indonesia. Ujian Nasional sebagai salah satu upaya meningkatan SDM Indonesia, UN tetap harus diadakan karena berkaitan erat dengan uji kemampaun seseorang yang terstandarisasi secara nasional.

Dengan adanya UN, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud dapat mengetahui kekurangan maupun kelebihan di tiap daerah. Dengan demikian pemberian bantuan pun akan tepat sasaran, baik secara finansial maupun infrastruktur. Kalau tidak ada UN, bagaimana pemerintah bisa membantu sekolah-sekolah yang ada di ujung timur atau di ujung barat Indonesia. Apakah mereka kekurangan guru, perbaikan fasilitas pendidikan yang kurang memadai, atau mata pelajaran tertentu yang memang mereka kesulitan untuk mempelajarinya. Dengan UN, data tersebut dapat digunakan oleh pemerintah untuk intervensi kebijakan.

Kita patut menghargai pro-kontra sekitar UN ini jika perdebatan tersebut murni masalah standardisasi mutu pendidikan. Karena itu, penyelenggaraan UN bukanlah hal yang tepat untuk dipertentangkan secara politis. Kecenderungan menarik masalah UN ke wilayah politik pasti akan menimbulkan korban tafsir berikutnya. Persoalan mutu pendidikan menjadi terlupakan. Jika perdebatan masalah UN hanya ditarik ke arah persoalan yang sangat teknis, yakni lembaga mana yang berhak menyelenggarakan, proses penganggaran yang lebih dahulu harus dibahas oleh DPR, prosedur aturan yang perlu ditetapkan dst, persoalan yang muncul bukan murni pengukuran kualitas pendidikan lagi, melainkan sudah melebar ke wilayah lain. Hal ini kemudian dapat menimbulkan persepsi berbeda tanpa pertimbangan mendalam kemudian menafikan bahwa ujian tidak perlu diadakan. Di sisi lain, juga timbul persoalan gengsi sekolah. Karena, bagi sekolah yang persentase kelulusan siswanya tinggi dalam UN, sekolah tersebut ikut naik pamornya, masalah ini kemudian memunculkan persoalan baru, pihak sekolah berusaha dengan segala cara untuk menggenjot siswa agar dapat lulus ujian.

Meskipun setiap argumentasi memiliki alasan untuk bertahan pada sikap atau pendiriannya, setidaknya kesadaran bersama diperlukan agar kualitas pendidikan tidak menjadi korban. Update terakhir tentang human development index (HDI) Indonesia yang berada di posisi 107 dari sekitar 188 negara menunjukkan bahwa upaya pemulihan pendidikan harus menjadi prioritas bangsa ini ke depan. Karena itu, polemik tentang UN seyogianya tidak terlalu dalam ditarik ke ranah politik sehingga dapat membias ke dalam masyarakat dan membuat para praktisi pendidikan semakin bingung. Secara ideal memang pelaksanaan evaluasi terhadap peserta didik harus diwujudkan.

Pertanyaannya: Apakah jika belum mencapai penyelenggaraan yang ideal kemudian lembaga ujian tidak perlu diadakan, sementara sistem yang lain belum ada?

Memang basil belajar tidak sepenuhnya bisa dievaluasi oleh UN. Namun dalam kaitan tes summative (ujian akhir), UN dapat menjadi kriteria pengukuran produk hasil belajar, karena memang pengukuran ini berorientasi kepada produk akhir, bukan proses. Mengutip pendapat tokoh psikologi pendidikan Carl Rogers `bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif, maka perilaku seseorang sudah dapat diramalkan ke dalam ranah afektif dan ranah psikomotoriknya`. Yang terjadi di sekolah saat ini memang evaluasi hasil belajar kognitif lebih dominan, jika dibanding dengan evaluasi hasil belajar afektif dan psikomotorik. Akan tetapi, bukan berarti kedua bidang tersebut diabaikan sehingga tidak perlu dilakukan penilaian.

Dari beberapa indikator kualitas pendidikan sejak reformasi bergulir tahun 1998, cukup banyak dicatat kemajuan pendidikan di Tanah Air. Tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, saat guru hanya mentransfer pengetahuan dan dipatok dengan target-target kurikuler. Model pembelajaran ini dengan pendekatan demokratis, mengisi banyak ruang kelas sekolah, guru dan siswa mempunyai posisi sentral dan menjadi subjek pendidikan, sehingga prinsip pelajar tuntas (mastery learning) menjadi lebih mungkin dicapai. Model pembelajaran demokratis menuntut adanya rumusan standar nasional kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan (competency standard). Oleh karena itu, ujian akhir seperti UN yang menggunakan kriteria 'referenced assessment' tetap diperlukan.

Kiranya kita perlu melihat kembali persoalan ini dengan kepala dingin, hati yang jernih, agar UN sebagai produk hasil belajar dapat meningkatkan pola pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Seperti yang sudah disebut diatas, kita seyogyanya harus belajar dari negeri tetangga seperti Malaysia yang menetapkan angka kelulusan (passing grade) untuk mata pelajaran matematika, bahasa, dan IPA dengan 6, sedangkan UN tahun ini hanya menetapkan 5,05 itu pun sudah menjadi kegaduhan besar. Para pengkhidmat pendidikan perlu mengimbau pemerintah, DPR, dan LSM untuk tidak memperpanjang masalah UN menjadi menyimpang dari esensi persoalan upaya peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus.

Terkait masalah UN yang terjadi selama ini, mungkin sistemnya yang perlu peningkatan perbaikan atau penyempurnaan, bukan justru meniadakan UN. Kalau cuma karena ketidaklulusan yang disebabkan makin meningkatkan standar kelulusan, menjadi alasan untuk menghapus atau meniadakan UN, rasanya kurang rasional. Apakah kita tidak malu dengan Malaysia yang dulu pernah berguru ke Indonesia, yang tetap mempertahankan sistem ujian nasional mereka dengan standar angka kelulusan jauh lebih tinggi, sementara kita baru nilai 5,5. Begitu pula dengan negara Thailand yang dulu pendidikannya tertinggal dari Indonesia, mereka menggunakan standar kelulusan dengan angka 6. Sementara di Indonesia seakan ramai-ramai mau menghapus UN, yang justru akan melemahkan SDM Indonesia. Dengan lemahnya SDM Indonesia, maka bisa menjadi ladang subur bagi kelompok masyarakat tertentu itu, untuk menguasai dan membelokan arah dari ideologi Pancasila ke ideologi lain. Kita harus waspadai gerakan-gerakan secara sistimatis yang ingin menghancurkan negara dan bangsa Indonesia serta masuk ke dalam cengkaraman baru yang bertentangan dengan Pancasila.

Ditinjau dari sudut pandang di atas, untuk mengatasi pro dan kontra yang ada maka Ujian Nasional  harus tetap dilaksanakan, hanya dalam “rumus” pelulusan tidak harus seragam, tiap sekolah bisa memilih kriteria pelulusan yang tepat. Kriteria “rumus” pelulusan tersebut ditentukan oleh pemerintah (hal ini pernah dilakukan ketika Ebtanas terakhir diberlalukan). UN harus tetap ada, tapi kelulusan tidak bisa ditentukan dengan nilai hasil UN saja, karena banyak sekali terjadi sesungguhnya anaknya cerdas tapi dia tidak lulus, mungkin karena saat UN dia sakit atau jawabannya tidak bisa dibaca oleh komputer sehingga nilainya kurang dari standar. Nah disinilah kemudian guru mempertimbangkan hasil ujiannya, apakah dia lulus atau tidak. Jadi kelulusan tidak hanya ditentukan oleh hasil UN, Guru pun bisa menentukan kelulusan, karena sejatinya Gurulah yang mengetahui karakter para siswanya.

Artikel Terkait:  Penundaan UN dalam perspektif pengadaan barang/jasa pemerintah
Share this article :
 

+ komentar + 3 komentar

2 Juni 2014 pukul 17.14

Bukan soal ujiannya, tapi mental yang harus diajarkan kepada pelajar agar berani bertanggung jawab. Soal kebocoran tentu ada peran sekolah juga, tinggal bgaimana peserta dapat mengantisipasinya

25 November 2014 pukul 20.46

UN gx penting, bikin otak strezz aja.
Kalo kerja, pengalaman ato kecerdasan yang bikin kita sukses??
Paling yang perlu saat kerja cuma... Pelajaran Produktif doang.
TRUE..??

29 November 2014 pukul 20.41

tujuan un blum jelas pula

Posting Komentar

 
Support : Creating Blog | Kojack | Dewa Yuniardi
Copyright © 2012 - 2016. Blog IKA - ITS Jakarta Raya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger